Cermin ini karya : Wahyu sri sugesti
KELAS: 8 SMP 3 RANTAU PANJANG KECAMATAN SIMPANG HILIR
KABUPATEN KAYONG UTARA KALIMANTAN BARAT
RAHASIA DIARY USANG NODA DARAH.
Agara Anissa Star, namanya panggilan Ara. Anak kedua dari tiga saudara.
Abangnya kelas IX, bernama Muhammad Rian Akbari panggilan Rian, Dan
adiknya sekaligus kembar kelasnya VII Aisyah Jessicka Star panggilan Ai,
Ayahnya bernama Muhammad Agara Akbari, dan Ibunya bernama Arassya
Jessicka Anisa.
Bruuk
Praaak
Bunyi keras seseuatu yang pecahan diikuti cibiran Ai dan gerutu Rian.
Seketika membuat lamunan Ara buyar, reflek dirinya melihat gudang yang
disebelah rumah mereka. Ah, dulunya rumah mendiang Kakek dan Nenek.
“Ara, tolong ambilkan bolanya dong itu kan salah kamu tadi!” perintah Rian.
Seketika membuat Ara tersadar sekali lagi, langsung menghela nafas dengan
tingkah semena-mena saudaranya. Dengan langkah yang terasa berat karena
merindu. Gudang itu memiliki banyak kenangan. Terasa indah dan menyesakkan,
ketika ingat itu hanya bisa menjadi kenangan yang tidak bisa diputar kembali.
***
Kumuh, kotor dan seperti tempat-tempat yang tidak ada penghuninya.
Tikus-tikus mungkin banyak berkeliaran disini. Namun semua yang dipikirkan Ara
ternyata salah.
“Huh, dimana sih bolanya,” gerutu sambil melihat kesekeliling, setelah lama
mencari ia lihat bola tersebut buru-buru mengambil bola tapi,…..
“praaaang,“ bunyi khas benda jatuh. Reflek dirinya melihat ke bawah.
“Argggggggggh,” pekik kaget bercampur ngeri Ara, ketika melihat buku diary
using noda darah, yang ada ...
Sementara, di luar gudang tampak Ai dan Rian saling berpadu pandangan.
Tanpa banyak kata mereka mengambil langkah kaki seribu. Sesampainya,
disana nafas mereka tersengal-sengal.
“Ada apa, Ara?” tanya Ai. Ara tidak tahu sejak kapan mereka ada disini.
Namun, itu tak membuat Ara berkutik dari diary itu, merasa ada tak respon dari
Ara. Mereka berdua mengikuti arah pandang Ara. Mata mereka membulat sempurna
dan mulut mereka terganga lebar. Ada perasaan takut, ngeri, lega sekaligus
kesal.
Mereka serempak menatap amarah Ara. Meskipun ditatap seperti itu Ara tetap
menatap buku itu. “Hey, kau kenapa menulis diary lalu diberikan cat warna ini
sih,” cibir Rian Rian mengernyit ketika Ara mengeleng dan memberi
wajah serius, setelahnya memperhatikan itu ke arah mereka. Ara dan Ai membacanya.
Kamis, 31 Desember 1998.
Ini adalah tahun baru yang terburuk pernah ada di kehidupanku.
Seharusnya,kami berjalan bersama. Seperti tahun-tahun yang lalu. Tapi, orang
tuaku malah bertengkar hebat.
“Ya, ampun Ara kenapa kau menulis seperti ini mau buat orang tua kita
benar-benar bertengkar ya?" komentar Rian. “Benar tuh, ra, “ kompor
Ai yang seakan tak mau kalah. Sedangkan, Ara hanya bisa merotasikan
matanya, jengah.
“Enak sekali kalian bilang seperti itu. Palingan Abang yang
iseng menulisnya. Ngaku aja itu bukan Ara lho. Paling aja Abang ya?
Ngaku, bang. Secara abang kitakan yang paling usil daripda kami
berdua, kan?” tanya Ara yang disambut anggukkan Ai. Sementara, si empu yang
disebut mengeram kesal.
“Benaran, nih ini bukan tulisanku. Tunggu tulisan ini jelas-jelas mirip
seperti tulisan Ai . Atau jangan-jangan Ai yang menulis itu? Benar gak, ra,”
Bela Rian. Sedangkan, si terdakwa menglongo kaget. Memang itu tulisan persis
seperti Ai tapi, tak pernah menulisnya.
“Eh, enak sekali Bang ngomong begitu aku gak pernah menulis
itu,deh." Rian mengangkat kedua alis sambil tersenyum miring.
“Ahh, keliatan sekali kalau kamu kekatakutan, Ai.”
“Jangan asal nuduh deh, Bang.”
“Apa kamu. eh, emang K E N Y A T A A N, bukan."
Sementara, Rian dan Ai masih bercek-cok
ria. Ara tak berminat untuk melerai. Entah kenapa buku diary itu lebih menarik.
Awalnya, ragu untuk mengambil buku diary itu ditempat yang baru Rian
letakkan barusan sebelum bercek-cok ria bersama Ai. Akhirnya pendeabatan dalam
bantin Ara mengalah sambil duduk bersila membuka buku itu.
Minggu, 14 Januari 1999
Abang dan Papa jahat ninggalkanku dan Mama. Mama menanggis tanpa
henti-hentinnya. Aku benci abang Aga dan Papa..
Wajah Ara tampak kebingungan. “Nama itu seperti nama papa. Hallo, Ara
nama Aga kan banyak gak cuma nama papamu saja.” Ia akhirnya membuka halaman
selanjutnya. Sekarang rasa penasarannya malah menjadi-jadi.
Rabu,3 Maret 1999
Sekarang ku tak memiliki siapapun yang akan kujadikan sandaran. Mama telah
pergi jauh sekali dan tenang disana..
***
“Itu pasti pukulan berat baginnya.”
Sabtu, 6 Maret 1999
Ibu panti tak memiliki hati pada kami semua. Ku tak tahan lagi
disini. Aku kabur tapi tertangkap lagi. Kata ibu panti ada yang ingin mengasuhku.
Ahhh, saya takut sekali dengan siapa yang akan menjadi orang tua asuhku.
***
"Malang sekali. Sudah jatuh tertimpa tangga, deh.”
Senin, 8 Maret 1999
Ternyata, pikiran kusalah. Mereka adalah keluarga yang harmonis.
Bunda Lisa yang penyayang, Ayah yang berwibawa, Cia yang ramah sekali, dan
Abang Ilham yang tenang.
***
“Baguslah, jika keluarga itu harmonis.”
Kamis, 11 Maret 1999
Ku telah membohongi semua orang termasuk keluarga angkatku. Maafkalahku,
Cia, Abang Ilham, Bunda, Ayah, teman-teman. Namun, ku bahagia sekali hari
ini.
***
Senin, 22 Maret 1999
Munafik teman-teman mereka hanya membohongi aku. Ku tak sengaja
mendengar percakapan Lisa dan teman-temannya. Mereka hanya ingin uang.
***
Selasa, 31 Desember 2002
Tiga tahu sudah ku tak bertemu Papa dan Abang. Dan, hari ini tepatnya tahun
baru. Ku tak sengaja bertemu Papa dan Abang bersama keluarga barunya di tahun
baru. Biarpun aku bersama kelaurga baruku tapi rasanya ada yang kurang. Ku
tak berani bertemu langsung dengan mereka.
***
Selasa, 7 Januari 2003
Sedih, senang, perih, dan kecewa. Bercampur aduk Abang gak mengingat
diriku.
Tapi, aku senang Abang sekelas malahan kami duduk semeja seperti dulu
sebelum kejadian itu.
***
Rabu, 8 Januari 2003
Semua teman ku kecuali abangku, Cia, dan kakak Ilham yang ada untukku.
Hanya mereka tidak yang lain!
***
Ara hanya menghela nafas gusar
Kamis, 9 januari
Ku bertemu teman lama. Ia sangggat baik seperti abangku, Cia, dan kakak
Ilham. Namun kami hanya bertemu sebentar saja. Ia telah pergi jauh sekali
sama seperti bunda meningggalkanku namun ia pergi karena ketika
ingin menyeberang untuk mengajak ku dirumahnya. Naas, ia telah pergi jauuuh
sekali. Tapi, sebelum pergi sempat mmemberikanku kalung yang berisi ehmmm
kamera cctv. Aku tak mengerti kenapa memberikan itu. Namun, aku
akan tetap selalu merawat kalung tersebut.
***
Jumat, 17 Januari 2003
Kemarin, hampir saja Papa mengetahui jati diriku. Huh, kenapa tidak aku
nolak aja pemintaan Abang untuk kerja kelompok dirumahnya.
***
“Untuk apa menolak permintaan Abangmu,” gumannya.
Jumat, 24 Januari 2003
Mereka membullyku habis-habisan. Namun, entah apa yang terjadi Abangku
menolongku.
***
Ara menghela nafas berat dan kesal setengah mati.
Kamis, 30 Januri 2003
Sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai pastikan tercium juga.
Peribahasa itu pantas untukku. Mereka telah mengetahui tentang jati diriku.
Sejak Abang mengetahui jati diriku. Abang memohon kepadaku untuk tinggal
bersamanya. Bukan, aku tidak mau tapi, Ibu tiri dan saudara tiri ku tak senang
dengan aku. Abangku dan Papa semakin gencar untuk aku kembali dan mereka berdua
semakin gencar untuk membullyku. Sedangkan, keluarga angkatku memaklumiku
biarpun Cia sempat merajuk.
***
Ara semakin merasa kasihan.
Sabtu, 16 januari 2003
Hari ini aku kemah bersama keluarga. Entah apa yang kurasakan sebelum pergi
kesini. Hari ini terasa aneh. Tidak tahu kenapa aku juga ingin memberi kalung
ini kepada Cia. Dengan syarat Cia harus menjaga ini dengan baik tapi, aku
tidak memberi tahu kalau kalung ini berisi cctv.
***
Ara akan membuka halaman terakhir. Namun, sebuah peringatan berada
dibawah bacaan itu tertulis dengan noda darah.
Jangan
membuka halaman selanjutnya.
***
“Apaan maksudnya?” tanya Ara ngeri sekaligus penasaran. Sedangkan, kedua
saudaranya yang bercek-cok ria itu berhenti. Mereka memandang aneh Ara. Rasa
penasaran membuat mereka mendekati Ara tanpa Ara yang mengetahui kehadiran. Ara
sibuk dengan pikirannya.
“Maksudmu, apa Ara?” tanya Rian membuat Ara kaget.
“Ini, bacalah.” Ara memperlihatkan bagian buku bagian belakang, setelah
rasa kagetnya hilang.
“Ah, paling aja cuma iseng,” cibir Ai sambil membuka buku halaman
selanjutnya. Namun, secara tiba-tiba, lingkaran yang besar menarik mereka
dengan paksa ke dalam dalam buku itu. Semakin lama makin kecil lingkaran itu.
Disebelah Rian tampak seorang wanita yang wajahnya seram. Ia
menunjukkan kearah jurang. Mereka langsung menoleh kearah jurang yang ada
beberapa perempuam remaja yang menyeret seorang perempuan yang sama dengan
perempuam yang disebelah Rian. Mereka reflek saling memandang satu sama lain
mengidik ngeri.
“Tolong aku Abang Aga, Abang Ilham, Cia, Papa, Mama, Ayah, dan
Bunda,” pekikan itu menarik perhatian mereka untuk memandang perempuan
itu.
“Ya ampum kasihan sekali, huh. Agara Anissa Star, tidak ada yang akan mau
menolongmu Ara yang manis,” jawab salah satu diantara mereka.
“Jangan sok jadi juara,” balas salah satu diantara mereka sambil menjambak
rambutnya.
“Arggh, sakit. Aku gak akan menuruti kemauan kalian,” lirih tapi tegas.
“Oke.” Mereka mendorong secara bersamaan ke jurang
Secarat tiba-tiba lingkaran kembali menarik Rian, Ara, dan Ai masuk
kelingkaran itu dan lingkaran itu menghilang. Mereka kembali didemesi lain
lagi. Disekeliling mereka tampak banyak tenda-tenda khas kemping. Di situ
mereka kenal beberapa orang, yaitu salah satunya ayahnya, ibunya, pamannya, dan
perempuam tadi dan teman-temannya yang mendorong perempuam itu. Ibunya tampak
menanggis tersedu-sedu sambil melihat kearah mayat yang berbujur kaku.
Begitupun yang lainnnya. Sedangkan, yang teman-tamannya yang mendorong itut
takut setengah mati yang tak diketahui siapa pun kecuali hanya mereka saja.
Perempuam yang didorong itu menatap Ara, Ai dan Rian nanar. Lagi,
secara tiba-tiba lingkaran itu menarik Rian, Ara, dan Ai masuk keliingkaran itu
dan lingkaran itu menghilang. Mereka berada didemesi lain lagi. Disekeliling
mereka tampak seperti gudang disebelah mereka tapi itu seperti yang baru.
Tampak diary yang dibaca mereka ditulis oleh seseorang yang didorong. Ia
menuliskannya sesuatu didiary itu. Ia menaruhkan buku didiary tersebut
paling bawah daripada buku yang lain.
Sekali lagi secara tiba-tiba lingkaran itu menarik Rian, Ara, dan Ai
masuk keliingkaran itu dan lingkaran itu menghilang. Mereka berada didemesi
lain lagi tapi kali ini mereka kembali ke tempat semula. Mereka sontak
berpandangan satu sama lain. Setelah sadar mencari buku tersebut yang
berada entah kenapa.
“Tolong minta tolong Cia untuk melihat cctv yang ada dikalung itu. Kumohon
tolong siapa saja yang membuka buku ini untuk minto tolong padanya dan juga
hukum mereka setimpalnya,” baca Ara bertepat datangnya Jesciska (ibu mereka)
membuat bingung sambil melihat kalung pemberian seseorang. Rian yang melihat
arah pandangan ibunya itu mengikuti pandangannya.
***
“Bu, tahukah kalung ini?” tanya Rian.
“Ya, ampun yan bukankah Ibu pernah bercerita tentang kalung Ini ya?”
“Bu, siapa nama adik tiri Ibu dan sekaligus Adik kandung ayah?”
“Agara Anissa Star dipanggil Ara. Seperti namamu Ara. Ya, kakek Raka memberikan
nama itu padamu karena kemu sama persis dengan Ara.” Jessicka memberi tersenyum. Ara, Ai, dan Rian seketika
berpandangan.
“Kenapa?” Tidak ada respon dari parar sudaranya. Ara ragu-ragu bercerita.
***
“Hay, Riri apa kabar?” tanya Jessicka, takkala mereka semua diruang tamu.
“Baik, kalau kamu bagaiamana?”
“Baik juga. Oh, ya Rian tolong pinjam laptop!” perintah Jessicka terhadap
Rian yang berpura-pura main laptop. Rian
memberikan laptop tersebut dengan tergesa-gesa. Jessicka langsung melepaskan
kalung yang dipakai. Setelah itu, mencari memori ketika memori itu dapat
ditanggalkan langsung masukkan ke dalam laptop membuat Riri dan teman-temannya
langsung mundur.
“Mau kemana Riska, Riri, dan Rima?”
“Ah, tidak. Kami mencari tempat yang nyaman saja.” Jawaban bertepat dengan selesai kalimat tersebut
tergambarlah peristiwa yang menyedihkan.
“Ya ampum kasihan sekali, huh. Agara Anissa Star, tidak ada yang akan mau
menolongmu Ara yang manis,” jawab salah satu diantara mereka.
“Jangan sok jadi juara,” balas salah satu diantara mereka sambil menjambak
rambutnya.
“Arggh, sakit. Aku gak akan menuruti kemauan kalian,” lirih tapi tegas.
“Oke.” Mereka mendorong secara bersamaan ke jurang
Seketika, putaran itu dihentikan oleh Jessicka. Jessicka menatap mereka
dengan wajah tak tergambarkan.
“Ayo ngaku kalian bukan yang membunuh Ara?” tanya Jessicka yang membuat
mereka tertawa terbahak-bahak. Rasa takut mereka sekarang sudah sedikit
menghilang. Semua yang berada disana melonggo tak percaya
.
“Kalian bertiga. Kalian harus dibawa kekantor polisi,” ungkap Raka yang
membuat mereka bertiga langsung kabur. Namun naas ternyata rumah tersebut sudah
dikerpung oleh polisi. Setelah mereka bertiga dibawa polisi. Salah satu polisi
mendatangkan Jessicka, Ara, Rian, dan Ai mengatakan terima kasih padan
mereka yang disambut tatapan heran Raka dan Aga. Jessicka yang melihat tatapan
tersebut bercerita. Ternyata semua ini sudah dipersiapan matang-matang oleh Jessicka, Rian, Ara, dan Ai. Setelah bercerita
Ara melihat adik kandung Ayahnya tersenyum tulus dan mengucapkan selamat
tingggal yang disambut senyum ramah oleh Ara lalu lama-kelamaan menghilang.
END
. SELESAI DAN SAMPAI JUMPA
Bagi yang ingin cerita lainnya dari aku
silahkan inbox aku ke fb atau ig untuk tahu cerita lainnya.
Tidak ada komentar:
Write komentar